Tuesday, February 24, 2009

Wawasan Nusantara dan Kewajiban Bela Negara

“Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.” (Pasal 30, UUD 1945) Berawal dari ide yang dilontarkan oleh Perdana Menteri Ir. H. Djuanda Kartawidjadja. Pada tanggal 13 Desember 1957, ia mendeklarasikan sebuah konsep Wawasan Nusantara, yang intinya menekankan bahwa bangsa Indonesia merupakan sebuah negara. Selanjutnya, melalui konsep yang belakangan dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda ini, ide “Negara Kepulauan” mendapatkan pengakuan internasional. Perjuangan Perdana Menteri Djuanda kemudian dilanjutkan oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja yang mampu mengartikulasikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai prinsip-prinsip dasar yang dapat mempersatukan Negara RI. Melalui konsepsi Wawasan Nusantara itulah pamor Indonesia meningkat karena konsepsi ini merupakan salah satu terobosan penting khususnya dalam hukum Internasional. Konsepsi Wawasan Nusantara selanjutnya dipergunakan sebagai argumen untuk mempersatukan pulau-pulau yang tersebar dari ujung Sumatera sampai Irian Jaya (Papua). Hanya dengan konsep penetapan batas laut wilayah sejauh 12 mil saja akan membuat adanya bagian laut bebas dalam pulau-pulau Indonesia yang dapat diinterpretasikan sebagai laut bebas. Dengan konsepsi negara kepulauan maka kelemahan itu behasil ditutupi. Semua laut di antara pulau-pulau atau di tengah kepulauan Indonesia sudah tidak dapat dihitung lagi sebagai laut internasional, tetapi sebagai laut pedalaman yang temasuk sebagai kawasan laut territorial dari suatu negara kepulauan. Konsepsi politik kewilayahan ini dimulai dengan UU No. 4/Prp/1960 yang dalam konferensi Hukum Laut III terus diperjuangkan dan berujung pada penerimaan UNCLOS 1982 pada 10 Desember 1982. Pemerintah Indonesia sendiri tak pelu menunggu waktu yang terlalu lama untuk meratifikasi konvensi tersebut melalui UU No 17 tahun 1984. Disamping itu mengenai garis batas Indonesia, baik laut wilayah, landas kontinen, maupun zona ekonomi eksklusif juga telah dapat diselesaikan pada era Menlu Mochtar Kusumaatmadja. Lebih kurang sejak tahun 1969 sampai tahun 1982, ada sekitar 18 persetujuan menyangkut batas dengan negara lain yang berhasil ditandatangani. Sejauh ini, lahirnya Wawasan Nusantara, sebagai suatu tatanan nilai pemersatu bangsa, sejalan dengan tumbuhnya bangsa Indonesia. Secara geografis posisi Indonesia yang diapit oleh dua benua dan dua samudera menjadi suatu mozaik yang utuh apabila diberi kerangka konsepsi Wawasan Nusantara. Pada masa dasawarsa 1980-an, tidak ada yang dapat membantah kebesaran Indonesia, terlebih jika dipandang sebagai satu kasatuan dalam Wawasaan Nusantara. Indonesia bukan hanya pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Irian ataupun Bali semata. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki arti strategis secara geopolitis di kawasan regional maupun internasianal. Konvensi hukum laut 1982 (United Nation Convention on Law of the Sea) memasukkan konsep Archipelagic State sebagai konsep hukum internasianal. Hal ini merupakan tonggak penting dalam sejarah perjuangan Indonesia dalam menjadikan konsepsi Wawasan Nusantara sebagai perwujudan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bela Negara Berbicara mengenai konsepsi Wawasan Nusantara tentunya tak bisa dipisahkan dengan kewajiban bela negara bagi setiap warga Negara Indonesia. Mengingat pentingnya kedua hal tersebut, khususnya bagi kelangsungan NKRI, pemerintah telah mengaturnya melalui banyak produk hukum. Di antaranya adalah Undang-undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat; Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional; Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988; Tap MPR No.VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dengan POLRI; Tap MPR No.VII Tahun 2000 tentang Peranan TNI dan POLRI; Amandemen UUD 1945 Pasal 30 dan pasal 27 ayat 3; serta Undang-Undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pun pemerintah telah berupaya menanamkan kedua hal tersebut kepada generasi muda sejak dini. Salah satunya dengan menempatkan mata pelajaran PPKn (dulu PMP) di bangku Sekolah Dasar (SD), SMP hingga SMA, serta Pendidikan Kewarganegaraan (dulu Kewiraan) bagi mahasiswa (tingkat pertama). Melalui mata pelajaran/ kuliah tersebut, para siswa dan mahasiswa telah diajak untuk turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI seperti para pahlawan yang rela berkorban demi tegaknya kedaulatan NKRI. Bentuknya bisa dengan mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka, membantu korban bencana alam di dalam negeri, ataupun turut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (yang pada masa Orde Baru dikenal dengan istilah siskamling). Sayangnya selama masa kepemimpinan mantan Presiden Soeharto yang otoritarian berpengaruh besar kepada penangkapan di benak siswa/ mahasiswa terhadap pengertian Wawasan Nusantara dan Bela Negara melalui mata pelajaran PPKn (PMP) dan Kewarganegaraan (Kewiraan)---baik itu dalam pengertian yang positif maupun negatif. Terlebih cara mengajar guru/ dosen mata pelajaran/ kuliah tersebut di masa itu yang kebanyakan berada dibawah tekanan rezim Orde Baru membuat para siswa/ mahasiswa tidak sungguh-sungguh dalam mengikuti mata pelajaran/ kuliah ini. Biasanya, bagi mahasiswa, khususnya yang ketika itu terlibat dalam aktivitas organisasi kemahasiswaan, yang dengan lantang dalam perkuliahan ‘Kewiraan’ berani menyatakan pendapatnya yang tentu saja berseberangan dengan yang diterapkan oleh Diktator Soeharto, pasti dinyatakan tidak lulus. Akibatnya, ide “nation building” yang dicita-citakan melalui Pancasila akhirnya mengalami dekadensi nilai. Ironisnya, meski zaman sudah berubah, itu masih berlangsung hingga sekarang. Ini karena Pasca Reformasi 1998 ternyata ada banyak pihak---yang sebagian besar adalah orang-orang yang paling menikmati hasil pembangunan pada masa orde baru dan bahkan merupakan pendukung kuat nilai-nilai tersebut---turut berlomba-lomba berbalik menyerang nilai-nilai yang pada masa orde baru dianggap sakral. Keadan ini sama halnya seperti yang digambarkan oleh filsuf Thoreau, yaitu ketika ada sekelompok orang di saat Revolusi Amerika yang turut mencela tindakan dan kebijaksanan pemerintah terdahulu padahal telah mengambil keuntungan dari keadaan tersebut demi melepaskan dosa dari masa lalunya. Syukurlah pemerintah tidak tinggal diam. Apapun yang terjadi---demi menjaga keutuhan dan kelangsungan NKRI---pemahaman tentang konsepsi Wawasan Nusantara dan Bela Negara harus tetap ditegakkan. Selain masih melalui mata pelajaran PPKn bagi siswa SD, SMP, SMA, serta mata kuliah Pendidikan Kewargenagaraan bagi mahasiswa, antara lain pemerintah kini, sejak lima tahun terakhir, telah menggalakkan semacam sosialisi tentang kesadaran dan pendidikan bela Negara, baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah, yang pesertanya meliputi pelajar/ mahasiswa serta organisasi kepemudaan. Tentu saja, program yang penyelenggaraannya didukung oleh banyak departemen ini bertujuan untuk membangkitkan semangat bela negara dan kebangsaan serta ditargetkan bisa membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan pemuda agar bisa bersatu di antara perbedaan-perbedaan. (Naskah & Foto: Hanif Nashrullah---dikumpulkan untuk memenuhi tugas akhir semester (1) mata kuliah Kewarganegaraan, Program Studi S-1, jurusan Seni Teater, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya)